Hidung manusia memiliki beragam bentuk, dari yang melebar hingga lancip, juga dari yang ukurannya kecil hingga besar. Meski berasal dari keturunan sedarah, namun tidak selalu menjanjikan bentuk yang persis sama.
Berdasarkan hasil studi terbaru yang telah diterbitkan di PLOS Genetics, perbedaan bentuk hidung manusia tersebut dikatakan berkaitan dengan iklim yang dialami oleh nenek moyang kita.
Bentuk hidung secara garis besar merupakan hasil dari evolusi pemilihan ukuran yang tepat saat menghirup karakter udara tertentu. Di Bumi, terdapat karakter iklim yang berbeda-beda sesuai lokasinya. Ada yang bertemperatur dingin dan kering, atau panas dan lembab.
Para peneliti di Pennsylvania State University mengatakan studi ini mendukung teori populer dari tahun 1800-an, yang disebut "Aturan Hidung Thompson".
Teori itu diperkenalkan oleh antropolog Inggris dan ahli anatomi Arthur Thompson. Ia menyatakan bahwa lubang hidung yang lebih luas terbentuk di iklim hangat, sedangkan lubang hidung sempit berevolusi untuk beradaptasi dengan kondisi iklim yang lebih dingin.
Salah satu fungsi yang paling penting dari hidung adalah untuk menyaring udara sebelum mencapai paru-paru.
Smithsonian.com (16/3) menjelaskan bahwa di daerah tropis, udara cenderung panas dan sudah tidak perlu dijernihkan, sehingga seharusnya tidak ada penghalang ke aliran udara. Hal tersebut yang membuat bentuk lubang hidung manusia yang tinggal di daerah ini lebih lebar terbuka dan bentuk hidung cenderung lebih datar.
Di daerah dingin, hidung sempit akan lebih efektif menghangatkan udara. Karena bentuk lubang hidung yang terbuka lebar memungkinkan massa udara dingin membanjiri saluran udara dan mengiritasi lapisan membran.
Oleh karena itu umumnya bentuk hidung besar dan memiliki lebih banyak ruang untuk penghangatan lebih cocok.
Pada masa lalu, para ilmuwan hanya melakukan pengukuran bentuk tengkorak untuk menguji keakuratan Aturan Hidung, bukan dari hidung itu sendiri. Studi ini juga menjadi yang pertama yang meneliti hubungan iklim dan dimensi hidung pada orang yang masih hidup.
"Kami fokus pada ciri-ciri hidung yang berbeda di seluruh populasi, dan melihat variasi geografis terhadap suhu dan kelembaban," kata Mark D. Shriver, salah satu penulis studi tersebut dalam sebuah pernyataan.
Menggunakan pencitraan wajah 3D, tim peneliti kemudian mempelajari tinggi dan panjang hidung, serta lebar lubang hidung, juga jarak di antaranya. Pengukuran dilakukan pada 476 relawan berasal dari Asia Selatan, Asia Timur, Afrika Barat, dan keturunan Eropa Utara.
Para peneliti mengukur variasi karakteristik seperti penonjolan ujung hidung, lebar dasar bagian berdaging dari lubang hidung yang disebut ala, dan lebar lubang hidung itu sendiri. Kemudian mereka menerapkan uji statistik guna menentukan kemungkinan pergeseran genetik untuk masing-masing karakteristik.
Hasilnya menuju ke hanya dua sifat yang tampaknya telah dibentuk oleh seleksi alam, antara lebar ala, dan lubang hidung.
Karakter seperti ketinggian hidung mungkin telah berevolusi di bawah tekanan selektif dalam setiap populasi, tetapi karakter ini tidak terpisah ketika kelompok orang tersebut pindah ke belahan lain dunia.
Selanjutnya, para peneliti mencatat lokasi kelahiran orang tua dari 140 relawan wanita. Kemudian memberi nilai berdasarkan kondisi iklim di wilayah lokasi tersebut, khususnya suhu dan kelembaban.
Peneliti menemukan bahwa lebar hidung mereka berkorelasi kuat dengan suhu rata-rata dari lokasi dan kelembaban mutlak.
Pada dasarnya, hidung yang lebih lebar menjadi bentuk yang lebih umum dalam kondisi iklim hangat, dan daerah lembab. Sementara hidung yang lebih sempit menjadi lebih umum di iklim dingin dan kering.
"Semua kembali ke aturan Hidung Thompson," kata Shriver.
Pada masa depan, para peneliti berharap untuk menyertakan populasi dari berbagai leluhur yang lebih luas, termasuk yang suku asli Amerika Utara. Tujuan mereka pada akhirnya adalah untuk dapat mengidentifikasi gen dasar yang bertanggung jawab terhadap perkembangan hidung tersebut.
0 Komentar