Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan, selain dimulai dari pernikahan di usia muda (pernikahan dini), juga dialami remaja perempuan pada masa pacaran.
"Anak-anak muda sekarang, terutama anak remaja perempuan juga banyak yang mengalami kekerasan dalam pacaran," ujar Reni, Direktur Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) Kalimantan Barat dalam peringatan Hari Perempuan Sedunia di bundaran Taman Digulis, Pontianak, Rabu (8/3/2017).
Semestinya hal tersebut bisa dicegah karena berteman atau berpacaran bukan saling menguasai. Tetapi bagaimana membangun hubungan atau relasi yang sama.
Karena pada usia pacaran, terutama usia sekolah biasanya, adalah untuk membangun bagaimana mereka bisa saling menguatkan satu sama lainnya dalam hal pengetahuan dan keterampilan masing-masing," paparnya.
Namun, sambung Reni, saat ini kondisinya terbalik. Ketika para remaja berpacaran, mereka merasa saling menguasai. Ketika hubungan itu timpang, anak-anak remaja perempuan menjadi korban.
"Sebetulnya tren perkembangannya sudah terjadi lima tahun belakangan ini ya, di era globalisasi dan keterbukaan serta kemudahan anak-anak dalam menggunakan internet itu juga menjadi salah satu sumber kekerasan dalam pacaran itu meningkat," ujarnya.
Ketika remaja ini dengan mudahnya menggunakan internet, semua informasi, gambar, dan hal-hal yang mengarah pada seksualitas mudah didapat. Secara biologis, anak-anak pada usia tersebut memiliki rasa yang mengarah pada seksual lebih besar.
"Apakah itu hanya sekedar ingin mengetahui dan mencoba itu lebih besar. Makanya ketika mereka mendapatkan akses dan melihat keterbukaan itu, mereka kemudian mencontoh dan meniru. Ketika hal-hal ini terjadi, maka disitu akan terjadi relasi kuasa yang tidak seimbang," tuturnya.
Karena itu, anak-anak perempuan yang tidak paham dengan kondisi ini dan hanya menjadi obyek seksualitas remaja laki-laki, sangat berbahaya.
Sementara itu, Putri Indonesia Kalimantan Barat 2017, Pingkan Rilly Yunita mengatakan, sebagai perempuan, hak-hak yang dimiliki harus disuarakan dan sampaikan kepada pemerintah.
"Pemerintah juga bisa memayungi dengan hukum atau undang-undang agar perempuan di Indonesia tetap mendapatkan haknya," ucapnya.
Ia menambahkan, sebagai perempuan harus mandiri dan memiliki kekuatan untuk berdiri sendiri, sehingga tidak terlalu bergantung pada laki-laki.
0 Komentar