Pada Selasa (9/5/2017) majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Hakim menyatakan Ahok telah melakukan penodaan agama melalui pidatonya di Kepulauan Seribu, 27 September 2016, dengan mengutip Surat Al Maidah ayat 51.
Putusan itu pun akhirnya memunculkan berbagai reaksi di masyarakat. Ada yang setuju, dan ada pula yang menentang putusan tersebut. Polarisasi di masyarakat justru menguat pasca-putusan sidang.
Di sisi lain, elemen masyarakat sipil mendorong dihapuskannya pasal terkait penodaan agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lalu, apa yang membuat elemen masyarakat sipil menganggap pasal penodaan agama sangat berbahaya jika tetap diterapkan?
Peneliti Setara Institute Halili Hasan mengatakan, tidak bisa dipungkiri perpecahan atau polarisasi di masyarakat semakin menguat pasca-putusan sidang kasus Ahok.
Sejak proses penyelidikan hingga persidangan, tekanan massa terus bermunculan. Masyarakat pun dijejali dengan isu identitas berbau suku dan agama.
Menurut Halili, situasi seperti itu bisa dihindari jika kasus penodaan agama diselesaikan melalui jalur non-yudisial atau mediasi. Penyelesaian melalui jalur non yudisial, lanjut Halili, dinilai lebih memiliki dampak yang positif terhadap kondisi sosial masyarakat.
"Dari sisi sosial, masyarakat jadi tidak perlu terbelah atau terpolarisasi. Saat ini justru terjadi permusuhan satu sama lain karena isu penodaan agama yang konstruksi hukumnya itu sendiri absurd," ujar Halili usai menggelar jumpa pers terkait laporan riset "Rezim Penodaan Agama 1965-2017", di kantor Setara Institute, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis (11/5/2017).
Halili menilai, mekanisme mediasi dalam penyelesaian kasus penodaan agama lebih efektif dan efisien ketimbang melalui persidangan.
Setidaknya ada dua alasan selain kondisi sosial yang bisa menjadi landasan. Pertama, pemerintah bisa menghemat dari sisi anggaran. Dalam kasus Ahok misalnya, negara harus mengeluarkan banyak anggaran hanya untuk pengamanan selama sidang berlangsung.
Kedua, jalur mediasi secara langsung akan mendidik masyarakat jika muncul kasus serupa di kemudian hari.
"Masyarakat kita ini kan masyarakat yang mengaku suka musyawarah, tapi faktanya enggan untuk berdialog. Mediasi justru akan mendidik banyak orang," ucapnya.
Halili mengakui jalur mediasi memang sulit dilakukan jika terdapat tekanan massa yang besar dan dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Namun, jika aparat penegak hukum bersikap tegas, jalur mediasi sangat mungkin dilakukan.
Mekanisme jarang ditempuh
Pada kesempatan yang sama, Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani menjelaskan, jika mengacu pada PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, ada mekanisme yang harus ditempuh sebelum proses persidangan.
Pasal 2 PNPS yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a KUHP menyatakan, barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 (melakukan penafsiran tentang sesuatu agama) diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Namun, mekanisme tersebut jarang ditempuh, terutama jika ada tekanan massa yang begitu besar.
"Seharusnya ada proses pemberian peringatan. Judul dari PNPS itu saja sudah pencegahan," ujar Ismail.
Tekanan massa
Jika dilihat dari aspek penegakan hukum, praktik penyelesaian kasus penodaan agama umumnya tidak berjalan sesuai asas keadilan. Hasil riset Setara Institute berjudul "Rezim Penodaan Agama 1965-2017" menunjukkan adanya penerapan standar ganda.
Hal itu menjadi indikasi masih lemahnya mekanisme penegakan hukum terkait kasus penodaan agama.
Ismail Hasani menilai bahwa saat ini mekanisme penegakan hukum kasus penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP sangat lemah. Sebab, sebagian besar penyelesaian kasus penodaan agama tidak lepas dari adanya tekanan massa atautrial by mob.
"Memang ada kelemahan dalam sistem penegakan hukumnya. Sebagai sebuah delik aduan pasal tersebut (Pasal 156 a KUHP) tidak steril," tutur Ismail.
Ismail memaparkan, berdasarkan hasil riset Setara Institute, tercatat ada 97 kasus penodaan agama yang terjadi dalam kurun waktu 1965 hingga 2017.
Dari jumlah tersebut, 76 kasus diselesaikan melalui proses persidangan dan 21 kasus diselesaikan di luar persidangan.
Setelah diteliti lebih jauh, lanjut Ismail, sebanyak 62 kasus selesai karena adanya tekanan massa. Sementara 35 kasus selesai tanpa adanya tekanan massa.
Dari 35 kasus yang diproses tanpa adanya tekanan massa, Setara Institute menemukan ada 14 kasus yang diselesaikan melalui jalur non yustisia.
Namun, menurut Halili, mekanisme penyelesaian melalui jalur mediasi dan rekonsiliasi bisa dilakukan jika tekanan massa tidak begitu banyak. Dia mencontohkan kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok membuktikan hal itu.
Mekanisme pemberian peringatan atau pun pemberian maaf tidak dilakukan sebelum kasus tersebut masuk ke tahap penyelidikan oleh kepolisian.
"Mekanisme mediasi, permintaan maaf atau bahkan pemberian maaf itu kan sebenarnya dimungkinkan. Tanpa tekanan massa, hal itu dimungkinkan," ujar Halili.
Manipulasi kepentingan politik
Selain itu, Ismail juga mengungkap bahwa delik penodaan agama rentan dimanipulasi dan tidak murni untuk kepentingan agama. Aparat penegak hukum, kata dia, harus lebih berhati-hati dalam menggunakan delik tersebut.
"Delik-delik penodaan agama ini rentan dimanipulasi, rentan digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak menjadi tujuan sesungguhnya dari adanya delik-delik penodaan agama di dalam perundang-undangan kita," ucapnya.
Jika ditelisik lebih jauh, dari total 97 kasus penodaan agama, ada berbagai macam konteks yang menjadi latar belakang, tidak hanya murni soal agama.
Menurut Ismail, sebagian besar kasus penodaan agama dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan, antara lain relasi sosial, relasi bisnis, dan kontestasi politik.
Dari keseluruhan kasus penodaan agama, hanya 10 kasus yang berdasarkan konflik keagamaan dan 22 kasus terkait polemik pemahaman keagamaan.
"Penegakan hukum penodaan agama ini semua dilatarbelakangi oleh konflik yang tidak murni dalam konteks membela kepentingan agama," ucap Ismail.
"Bisa dikatakan dari 97 kasus yang mengemuka, sebagian besarnya dilatarbelakangi oleh konflik. Karena itu dia sebenarnya tidak obyektif kalau kita katakan sebagai peristiwa hukum yang memenuhi delik. Tetapi faktanya sebagian besar kasus-kasus itu pula masuk ke peradilan," kata dia.
Oleh sebab itu, dia berpendapat bahwa Pasal 156a terkait penodaan agama perlu dihapus dalam pembahasan revisi KUHP yang tengah berjalan di DPR.
Ismail menilai pasal penodaan agama rentan menjadi instumen restriktif dan berpotensi mendegradasi prinsip-prinsip umum penyelenggaraan negara demokrasi.
0 Komentar