Ngaji Gercep: Mengasah Jiwa, Menyulam Kearifan Hidup dan Keilahian Lewat Aksara Hijaiah

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam merdeka!

Alhamdulillah wasyukurillah, washalatu wasalamu ‘ala Rasulillah. La haula wala quwwata illa billah.

Saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku yang saya cintai di mana pun berada, mari kita panjatkan puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena masih diberi kesempatan untuk berkumpul kembali dalam majelis Ngaji GercepNgasah Jiwa Gerak Cepat. Sebuah ruang batin untuk menyegarkan semangat, menumbuhkan kembali jiwa kemanusiaan, serta menanamkan nilai kepedulian dan kebermanfaatan, baik terhadap sesama manusia maupun seluruh ciptaan Allah di alam semesta ini.

Berangkat dari Pengalaman dan Renungan Hidup

Apa yang saya sampaikan bukan sekadar teori. Ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang saya alami sendiri—apa yang saya lihat, saya dengar, saya baca, dan saya rasakan. Semuanya kemudian bermuara pada satu titik: bagaimana setiap pengalaman hidup bisa menjadi hikmah dan pelajaran, agar kita mampu mengambil manfaat dan kebaikan darinya.

Sebagai pribadi yang lahir dan besar di kampung kecil, di tengah hutan daerah Kedungjati, desa Kitikan, saya belajar banyak tentang akar kehidupan, adat istiadat, dan warisan budaya leluhur. Dalam falsafah Jawa, dikenal istilah "Sangkan Paraning Dumadi"—asal usul dan tujuan keberadaan manusia. Dari situlah saya mulai merenung: siapa saya? Dari mana saya berasal? Mau ke mana saya akan kembali?

Ikhlas, Suwung, dan Semedi: Mencari Makna Dalam Keheningan

Dalam proses pencarian jati diri itu, saya pun mengenal istilah semedi, sebuah laku spiritual yang dalam budaya Jawa berarti mengheningkan cipta, menenangkan diri. Namun saya mencoba memahami lebih dalam: semedi bukan sekadar duduk diam. Dalam Islam, saya maknai sebagai bagian dari ikhlas—tulus, tanpa pamrih, berserah penuh kepada Allah, seperti dalam surat Al-Ikhlas:

Qul huwallahu ahad. Allahus-shamad. Lam yalid wa lam yulad. Wa lam yakun lahu kufuwan ahad.

Semedi sejati adalah suwung—mengosongkan diri dari keinginan duniawi agar hanya Allah yang mengisi ruang hati. Karena hanya Allah yang tak terbatas, sementara manusia dibatasi oleh ruang dan waktu.

Pandangan manusia terbatas. Langit tampak biru, gunung di kejauhan pun biru, laut pun tampak biru—padahal itu ilusi optik semata. Maka dari itu, untuk mengenal yang hakiki, kita harus menembus batas pandangan lahir, masuk ke dalam makna batiniah.

Ibu, Kehidupan, dan Hikmah dari Tunjung Biru

Dari renungan itulah saya sampai pada satu pemahaman penting: kita semua berasal dari seorang ibu. Allah sendiri berfirman bahwa Dia mengeluarkan kita dari perut ibu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Maka, menghargai ibu adalah bentuk menghargai kehidupan itu sendiri.

Dalam perjalanan spiritual saya, saya bahkan bertemu dengan sosok simbolik bernama Tunjung Biru, sebagai bentuk representasi tentang keterbatasan pemahaman manusia terhadap kasih seorang ibu. Dari ibu kandung, ke Ibu Pertiwi, hingga ibu kota dan bahkan ibu jari—semuanya menunjukkan betapa pentingnya peran "ibu" dalam kehidupan.

Meski terkadang ada yang menganggap ini simbolis atau bahkan guyonan, namun di balik itu tersimpan makna mendalam: kita harus mampu mengolah setiap perbedaan menjadi kekayaan pemahaman, menjadikan perbedaan sebagai pintu untuk saling berbagi dan peduli.

Adam dan Hawa: Sastro Jendro dan Nafas Kehidupan

Dalam dokumen kehidupan yang kita warisi, seperti yang tertuang dalam kitab-kitab suci, kita mengenal asal-usul manusia dari Nabi Adam dan Siti Hawa. Adam, sebagai manusia pertama, tidak bisa hidup sendiri. Hawa hadir sebagai nafas kehidupan—hawa dalam bahasa berarti udara, napas. Simbol ini menunjukkan bahwa kehidupan tanpa kasih, tanpa pasangan, tanpa ibu, adalah hampa.

Namun jangan hanya membaca kisah itu secara harfiah. Di balik nama dan cerita itu, ada yang disebut Sastro Jendro—ilmu membaca makna di balik bahasa. Bahwa kitab bukan hanya kumpulan kata, tapi dokumen hidup yang penuh hikmah dan tuntunan.

Aksara Hijaiah: Jalan Kembali ke Sumber Cahaya

Perjalanan spiritual dan budaya ini akhirnya membawa saya mencintai aksara hijaiah. Tulisan suci Al-Qur’an, yang ditulis dalam aksara hijaiah, bukan sekadar huruf—melainkan kunci pembuka jalan menuju pemahaman hakikat hidup. Dari sinilah saya membangun sebuah metode: Abah Kiai.

Abah Kiai adalah singkatan dari:
Aktivasi
Bahasa
Aksara
Hijaiah
Kecerdasan
Ilahiah,
Alamiah,
Ilmiah.

Metode ini saya kemas dalam program Ngaji Gercep—Ngaji Ngasah Jiwa Gerak Cepat—agar kita semua bisa kembali kepada sumber nilai, sumber cahaya, dan sumber ilmu yang tidak hanya menguatkan spiritualitas, tapi juga kecerdasan akal dan kepedulian sosial.

Penutup: Merajut Kembali Jiwa yang Penuh Hikmah

Saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, perjalanan ini belum selesai. Mari kita terus menyelami makna kehidupan, menggali warisan budaya, dan menapaki jalan ilahiah dengan penuh keikhlasan.

Semoga apa yang saya sampaikan bisa menjadi pemantik semangat kita semua untuk terus belajar, berbagi, dan menghidupkan kembali jiwa-jiwa kita yang terkadang letih oleh dunia.

Tetaplah bersama kami dalam Ngaji Gercep. Mari kita bahas bersama aksara hijaiah melalui metode dalang, agar setiap hikmah yang kita petik menjadi berkah yang berlimpah.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Merdeka!

 

Posting Komentar

0 Komentar