Akhir akhir ini, ada hal aneh terkait kiprah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Satu dua anggota MUI mengatasnamakan MUI mengkritik pemerintah. Ada yang mengkritik pada hal-hal di luar konteks agama, mengkritik kebijakan pemerintah yang sudah disetujui DPR.
Bahkan terakhir ada anggota MUI yang demo menteri agama (salah lagi gerakan sholatnya).
Sesungguhnya, MUI adalah lembaga yang kolektif kolegial, dalam arti mengacu kajian agama, untuk menyikapi keadaan negara, dan memberikan masukan-masukan secara (rutin) kepada Pemerintah, melalui pertemuan dengan Presiden, Menkopolhukam, atau Menteri Agama.
Pemerintah pasti mendengar, karena masukan MUI terkait pelaksanaan agama dalam kehidupan bernegara.
Karena Pemerintah dan MUI diikat tujuan yang sama, yaitu memajukan bangsa, meningkatkan ketaqwaan dan muamalah umat dan membangun kerukunan umat beragama.
Singkatnya, MUI memberikan masukan atau advokasi kepada Pemerintah itu keharusan, dan layaknya dilakukan ‘agak tertutup’ dalam arti agar masukan MUI tersebut mewujud menjadi kebijakan Pemerintah dan mencegah jangan sampai Pemerintah melenceng.
Hakekatnya, melencengnya Pemerintah adalah juga kesalahan MUI, karena MUI tidak antisipatif memberi masukan.
Peran sangat penting MUI lainnya, adalah MUI harus hadir memberi masukan kepada masyarakat, agar bisa bersama-sama membangun negera, dan MUI juga mengoreksi sikap beragama dai/muballigh dan masyarakat yang tidak tepat untuk budaya Indonesia.
Juga jika terjadi disharmoni antar umat beda agama, MUI harus turun tangan membantu, karena harmoni horisontal sesama anak bangsa adalah panduan Islam dalam kehidupan sosial. Batasannya “lakum diinukum waliyadin”.
Dalam agama Islam, salah satu sumber hukum adalah ijma ulama (kesamaan pandangan hukum para ulama).
Karena itu, anggota MUI juga harus diseleksi dengan baik, yang memang memiliki kedalaman ilmu agama, wawasan kebangsaan, ilmu mumpuni dan kearifan dalam menyampaikan sikap. Sehingga pendapatnya berkualitas dan memang sangat fundamental bagi bangsa. Tidak bisa sembarang orang.
Bagi yang ingin berkiprah dalam politik, atau adopsi sikap LSM (pemerintah tidak ada baiknya), seharusnya jangan di MUI, tapi masuk saja partai politik atau mendirikan LSM.
MUI bisa saja meminta dukungan publik, jika pemerintah nyata tidak mau melaksanakan keadilan, tidak mau melindungi hak-hak umat dalam melaksanakan agama, dan kesejahteraan yang tidak merata, walau sudah melalui pertemuan-pertemuan dengan pemerintah.
Semoga Pemerintah dan MUI dapat mencari cara agar MUI bisa produktif dalam memajukan bangsa, melalui fungsi utamanya di atas. Ayo... KEMBALIKAN KHITTAH MUI !
Jakarta, 7 Maret 2022
Ir. La Ode Budi Utama
Ketua Umum KIBAR INDONESIA
0 Komentar