Resepsi Hari Pertama
Rabu Lěgi, 10 Januari 2024
Jam 12.00
Sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT atas anugerahnya, S.D.K.G.P.A.A. Paku Alam X menghadirkan Pahargyan Mirunggan (Resepsi Khusus) pada siang hari, usai terselenggaranya Upacara Panggih Temanten, Rabu, 27 Jumadilakir Jimawal 1957 atau 10 Januari 2024.
Tokoh-tokoh bangsa turut hadir Upacara Pahargyan ini, antara lain:
- Ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun HB X dari Kasultanan Ngayugyakarta Hadiningrat
- Sinuhun Paku Buwana XIII dari Kasunan Surakarta Hadiningrat
- S.I.J. K.G.P.A.A. Mangku Negara X dari Kadipaten Mangkunegaran
- Para Raja dan Tokoh Adat Nusantara
- Anies Rasyid Baswedan, Ph.D
- Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc. (Menteri PUPR)
- Susi Pudjiastuti
- Panglima TNI beserta KSAD, KSAU, dan KSAL
- Kapolri
- Para Duta Besar negara sahabat
Pada Pahargyan, pengantin memakai busana serupa dengan panggih, dodot atau kampuh batik motif Indra Widagda Wariga Adi. Tamu dihibur dengan dua běksan tari, Bědhaya Sidamukti dan Bědhaya Kakung Indrawidagda. Bědhaya Sidamukti, dicipta khusus untuk merayakan pernikahan putra kedua K.G.P.A.A. Paku Alam X, menggambarkan dua insan yang bersatu dengan harapan hidup rukun dan bahagia. Sedangkan Bědhaya Kakung Indrawidagda mengisahkan Bathara Indra, menekankan pentingnya pendidikan bagi keluarga dan masyarakat. Indra Widagda 'Indra yang pandai'.
Pada kesempatan ini para tamu disuguhi dua běksan ‘tari’, yakni Bědhaya Sidamukti dan Bědhaya Kakung Indrawidagda.
Bědhaya Sidamukti dicipta khusus dalam rangka menyambut pernikahan putra kedua K.G.P.A.A. Paku Alam X. Běksan ini ditarikan oleh tujuh penari putri, mencerminkan dua insan yang berjanji untuk bersatu dalam ikatan perkawinan dengan harapan kelak hidup rukun dan bahagia.
Sidamukti ‘terwujud, tercukupi segalanya dan bahagia’.
Bědhaya Kakung Indrawidagda
Běksan ini diperagakan oleh tujuh penari putra yang mengisahkan tentang Bathara Indra, seorang tokoh dalam teks Asthabrata versi Pakualaman yang memiliki karakter mengutamakan pentingnya pendidikan bagi keluarga dan masyarakat. Indra Widagda ‘Indra yang pandai’.
Jam 14.00
KD Gědhong Purwarětna Tampa Kaya atau Kacar-Kucur. Tampa Kaya melambangkan tanggung jawab penuh seorang suami dalam menafkahi lahir batin istri. Dalam upacara ini pengantin laki-laki mengucurkan 27 biji bijian antara lain kedelai, kacang tanah, gabah, kecik, jagung, klungsu, klěnthěng dll., ěmpon-ěmpon, dlingo běngle, uang logam dan bunga sri taman, diterimakan kepada pengantin perempuan secara hati-hati agar tidak tumpah. Prosesi ini juga disebut dengan kacar-kucur.
Makna simbolis kacar-kucur ini adalah mengingatkan pengantin akan pentingnya mengupayakan benih dan tempat persemaiannya agar menghasilkan tanaman yang subur dan bermanfaat.
Meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara bahwa laki-laki sebagai pangkal turunan dan perempuan sebagai pemangku turunan dalam sebuah ikatan perkawinan harus selalu dijaga dan diupayakan kemanfaatannya dengan suci hati. Oleh sebab itu, dalam satuan kacar-kucur ini terdapat pula dlingo běngle, ěmpon-ěmpon yang dipercaya sebagai pengusir makhluk jahat. Adapun uang logam disini mewakili perolehan kekayaan.
Dengan demikian makna filosofis kacar kucur pada acara Dhaup Agěng di Pura Pakualaman adalah dengan suci hati pengantin laki-laki dan perempuan melaksanakan kewajiban dan haknya sesuai peran dan potensi yang dimiliki. Diharapkan dapat terus menerus bersyukur atas limpahan kemurahan-Nya sehingga memperoleh kekayaan berupa anak (dilambangkan dengan biji-bijian) dan harta (dilambangkan dengan uang logam), yang selamat (dilambangkan dengan dlingo běngle), dan barokah (dilambangkan dengan bunga sritaman).
Kamis Pahing, 11 Januari 2024
Jam 18.30
Sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan anugerah-Nya, S.D.K.G.P.A.A. Paku Alam X kembali menggelar Pahargyan untuk kedua kalinya pada Kamis malam, 28 Jumadilakir Jimawal 1957 atau 11 Januari 2024. Acara yang dihadiri lebih dari 3000 tamu undangan ini turut dihadiri oleh tokoh bangsa, Ganjar Pranowo, S.H., M.I.P.
Dalam Pahargyan kedua ini, pengantin memukau dengan busana ber motif Parang Indra Widagda, menggambarkan harapan agar kehidupan pernikahan mereka dipenuhi keteladanan Bathara Indra yang peduli terhadap pendidikan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Selain itu, tiga běksan 'tari' ditampilkan, antara lain Běksan Tyas Muncar yang memvisualisasikan kebahagiaan remaja putri melalui proses masa keremajaannya dengan aktivitas membatik. Bědhaya Wasita Nrangsmu, ditarikan oleh tujuh penari putri, mewakili piwulang sebagai bekal bagi perempuan dalam mengarungi bahtera rumah tangga, diilhami oleh teks Sěrat Piwulang Estri yang ditulis oleh K.G.P.A.A. Paku Alam II. Sedangkan Lawung Alit, sebuah pementasan Běksan Lawung yang dilestarikan di Pakualaman, menggambarkan latihan olah kanuragan prajurit di masa lalu, terinspirasi dari tradisi pementasan Běksan Lawung di Kraton Yogyakarta yang dilestarikan di Pakualaman.
KD Bangsal Sewatama Busana yang dikenakan pengantin pada saat Pahargyan hari kedua adalah kain batik motif Parang Indra Widagda dengan harapan agar pengantin bisa memegang teguh keteladanan Bathara Indra yang memperhatikan pendidikan bagi diri dan orang lain. Pada resepsi ini ditampilkan tiga běksan ‘tari’, yaitu Běksan Tyas Muncar, Bědhaya Wasita Nrangsmu, dan Lawung Alit
Běksan Tyas Muncar
Běksan Tyas Muncar menggambarkan pancaran hati remaja putri yang mengalami proses masa keremajaannya dengan penuh kebahagiaan sehingga dapat menapaki kehidupan selanjutnya dengan baik melalui aktivitas membatik.
Běksan ini terinspirasi dari kecintaan Permaisuri K.G.P.A.A. Paku Alam X terhadap iluminasi dalam naskah kuno skriptorium Pakualaman yang kemudian dialihwahanakan menjadi motif motif batik yang indah.
Bědhaya Wasita Nrangsmu
Ditarikan oleh tujuh orang penari putri, merepresnetasikan tentang piwulang yang menjadi bekal bagi kaum perempuan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Selain kesabaran, rasa sumarah, kasih sayang, seorang perempuan juga harus mampu menangkap pasěmon ‘ekspresi’ wajah suami dan anggota keluarga lainnya.
Seorang wanita utama harus berpijak mengikuti piwulang agar senantiasa meraih keselamatan, ketentraman serta sentosa jiwa raga.
Penciptaan karya tari ini diilhami dari teks Sěrat Piwulang Estri yang ditulis oleh K.G.P.A.A. Paku Alam II. Wasita Nrangsmu dimaknai sebagai ‘nasihat tentang pentingnya memahami ekspresi wajah’.
Lawung Alit
Pangeran Notokusumo yang kemudian bertahta sebagai K.G.P.A.A. Paku Alam I (1812-1829) adalah putra Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Babad Pakualaman disebutkan bahwa tradisi pementasan Běksan Lawung yang ada di Kraton Yogyakarta dilestarikan di Pakualaman.
Dinamakan Běksan Lawung karena penari memperagakan keterampilan menggunakan lawung ‘tombak’. Běksan Lawung Alit ini diperagakan oleh empat peraga sebagai prajurit yang sedang berlatih olah kanuragan dan empat peraga pěngampil sebagai abdi dalem ploncon.
0 Komentar