JAKARTA, KUPAS.CO.ID- Wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimatan Tengah telah
lama didiskusikan sejak Presiden Soekarno. Bahkan kedatangan Bung Karno
ke Palangkaraya pada tahun 1957 dikaitkan sebagai tonggak pemindahan
ibu kota negara dengan ditancapkan tiang pancang tidak jauh dari tepi
sungai Khayan.
Tapi isu itu ditepis mantan Ketua Dewan Adat Dayak
(DAD) Sabran Achmad (87). Menurut Sabran kedatangan Bung Karno ke
Kalteng tidak lain untuk meresmikan Palangkaraya sebagai ibu kota
provinsi.
Sabran Achmad merupakan salah satu saksi yang masih
hidup peristiwa kedatangan Bung Karno ke Palangkaraya. Kala itu jarak
dia dengan Bung Karno hanya sekitar 100 meter. Dirinya masih mengingat
dengan jelas pidato Bung Karno yang disampaikan dengan berapi-api di
hadapan rakyat Kalimantan.
"Saya tidak pernah mendengar bahwa
beliau katakan Palangkaraya itu dicanangkan sebagai ibu kota negara,
belum pernah mendengar saya. Belum pernah mendengar selama pidato
beliau. Wah pidato beliau sebagai presiden berapi-api toh, ini provinsi
ke 17, provinsi yang dicita-citakan dari tidak ada menjadi ada. Provinsi
yang diadakan di tengah rimba hutan Kalimantan," cerita Sabran saat
ditemui detikcom, di Palangkaraya, Rabu (17/1/2017).
Sabran menegaskan tidak ada dalam pidato beliau usai menancapkan pilar
bahwa Palangkaraya adalah ibu kota negara. Peristiwa tersebut
diceritakan tanpa menujukkan raut wajah keraguan saksi sejarah.
"Saya
masih muda waktu itu, masih kuliah. Tetapi saya tidak tahu kalau dia
(Bung Karno) bercerita pada forum lain di Banjarmasin, saya tidak tahu.
Tetapi pada waktu itu, pidatonya tidak ada seperti itu," kata Sabran.
Sabran
mengatakan kedatangan Bung Karno ke Kalteng juga untuk membangun
kesejahteraan masyarakat Dayak. Dipilihnya Palangkaraya sebagai Ibu Kota
Provinsi Kalteng tidak lain untuk memudahkan akses kebutuhan orang
banyak.
"Bung Karno mengharapkan agar ibu kota Kalteng dibangun
dari tidak ada menjadi ada, di bangun dari hutan-hutan rimba. Kenapa
didirikan ibu kota di sini? karena ini praktis, agar semua orang Dayak
mudah ke ibu kotanya, agar mereka bisa dibina pendidikan, ekonomi. Saya
hadir pada itu dan saya tidak pernah dengar pidato Bung Karno yang
(menyatakan) menjadikan ibu kota negara saya belum pernah," kata Sabran.
Sabran mengatakan dengan dibangunnya Palangkaraya sebagai ibu kota provinsi supaya martabat masyarakat Dayak bisa terangkat.
"Sehingga
tidak ada lagi konotasi jahat 'orang Dayak makan orang', 'orang Dayak
bodoh', 'orang Dayak miskin' dan macam-macam," tuturnya.
Sabran
mengatakan baru setelah pemerintahan Provinsi Kalteng ini berjalan
efektif di bawah kepemimpinan Tjilik Riwut, Lokasi tiang tersebut
mendapat renovasi dan pemugaran menjadi tugu.
"Belakangan baru
dibuat batu dilapisi dengan batu. Kecil dulu, itu berapa puluh kali
perbaikan. Kayu ulin itu saya kira 500 tahun tahan, baru kayu ini
dilapisi batu dan aksesorisnya. Begitu riwayat tugu, saya tahu betul,"
paparnya.
Sabran mengatakan kalau pun berdirinya patung Bung Karno yang menujuk ke
lokasi tiang pancang tersebut. Patung itu baru beberapa tahun
belakangan ini dibuat oleh eks Gubernur Kalteng Teras Narang di akhir
masa jabatannya.
"Itu tokoh-tokoh masyarakat tidak ada yang tahu.
Tinggal didirikan saja, menurut saya selaku orang tua dan orang tahu
sejarah Kalteng tidak tepat patung Bung Karno ada di sana, kenapa tidak
buat satu monumen dibuat tempat terhormat dan yang mulia. Ini
proklamator loh, taruh di tepi sungai pinggir kali, kalau erosi ? Itu 10
meter sampai 20 meter sungai. Coba dibuat tempat baik bisa dilihat
tempat seberapa abad, dan tempat kecil sekali. Baru saja kemarin itu
baru tahun 2014. Itu proyek dadakan," tuturnya.
0 Komentar